“Baju baru, alhamdulillah. Tuk dipakai di hari raya. Tak punya pun tak apa-apa. Masih ada baju yang lama.” Penggalan lagu anak tersebut mengingatkan kita pada kebiasaan umat Muslim di negeri ini yang mengidentikkan Hari Raya Idul Fitri dengan baju baru. Tak masalah sebenarnya dengan tradisi ini. Akan tetapi menjadi tidak tepat manakala tradisi memakai baju baru ini menjadi sebuah keharusan. Mungkin tidak sulit bagi mereka yang bergelimang harta, tapi tidak demikian bagi mereka yang memiliki ekonomi pas-pasan bahkan kurang. Maka tradisi ini meski disikapi secara selektif.
Toh, tujuan puasa itu sendiri bukanlah untuk memperoleh baju baru, melainkan demi meningkatkan ketakwaan. Karenanya, penting untuk diresapi kembali aforisma orang-orang pesantren yang berbunyi, laisa al-‘id liman labisa al-jadid, walakin al-‘id liman tha’atuhu tazid. Ied (Idul Fitri) bukanlah teruntuk bagi mereka yang berbaju baru, akan tetapi ia (Idul Fitri) teruntuk bagi mereka yang taatnya (kepada Allah) semakin meningkat.
Meski demikian, tetaplah menyemarakkan Hari Raya Idul Fitri dianjurkan dalam agama Islam. Setiap individu diminta untuk menyambut kedatangan Idul Fitri dengan kegembiraan. Selain mengisi momen lebaran dengan suka cita, hal ini sekaligus bernilai ibadah. Salah satu ibadah yang dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri adalah menghidupkan malamnya dengan takbir, serta paginya dengan melaksanakan shalat Id.
Berikut Amalan-amalan sunah yang dianjurkan dikerjakan pada Hari Raya Idul Fitri.
1. Shalat Idul Fitri
Shalat Idul Fitri hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dikukuhkan). Bahkan, sebagian pendapat menyatakan fardlu kifayah (kewajiban kolektif). Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Maka shalatlah kepada Tuhanmu dan berkurbanlah” (QS. al-Kautsar: 2).
Mayoritas mufassir menegaskan bahwa yang dimaksud shalat di dalam ayat itu adalah shalat hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Dalil lainnya adala Nabi rutin melaksanakan shalat Idul fitri di setiap tahunnya. Pertama kali beliau mendirikannya pada tahun kedua pasca hijrah ke Madinah, tahun di mana perintah kewajiban puasa Ramadhan turun di bulan Sya’bannya (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 3, hal. 39).
Shalat Idul Fitri disunahkan bagi laki-laki dan perempuan. Dianjurkan dilaksanakan secara berjamaah. Lebih utama dilaksanakan di masjid daripada di tempat lainnya, termasuk lapangan. Hal ini bila daya tampung masjid memadai. Bila sempit, maka lebih utama di lapangan.
2. Mandi
Sunah bagi siapa pun, laki-laki, perempuan bahkan yang tengah haid atau nifas melakukan mandi Idul Fitri. Kesunahan ini juga berlaku bagi yang tidak menghadiri shalat Idul Fitri, seperti orang sakit. Waktu mandi dimulai sejak tengah malam Idul Fitri sampai tenggelamnya matahari di keesokan harinya. Lebih utama dilakukan dilakukan setelah terbit fajar (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib ‘Ala Syarh al-Khathib, juz 1, hal. 252).
3. Menghidupkan malam Id dengan ibadah
Dianjurkan menghidupkan malam hari raya dengan shalat, membaca shalawat, membaca Al-Qur’an, dan bentuk ibadah lainnya. Riwayat dari Ibnu Abbas, dengan cara shalat Isya berjamaah dan bertekad melaksanakan shalat Subuh berjamaah. Pada malam hari Idul Fitri ini juga disunahkan untuk memberbanyak doa, sebab termasuk waktu yang mustajab (diijabah) sebagaimana terkabulnya doa di malam Jumat, dua malam awal bulan Rajab, malam Idul Adha, dan malam Nishfu Sya’ban (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 281).
4. Memperbanyak bacaan Takbir
Salah satu syi’ar yang identik dengan Idul Fitri adalah kumandang takbirnya. Anjuran memperbanyak takbir ini berdasarkan firman Allah, “Dan sempurnakanlah bilangan Ramadhan, dan bertakbirlah kalian kepada Allah” (QS. al-Baqarah: 185).
Ada dua jenis takbir Idul Fitri:
1. Muqayyad (dibatasi), yaitu takbir yang dilakukan setelah shalat, baik fardhu atau sunah. Setiap selesai shalat, dianjurkan untuk membaca takbir.
2. Mursal (dibebaskan), yaitu takbir yang tidak terbatas setelah shalat, bisa dilakukan di setiap kondisi. Takbir Idul Fitri bisa dikumandangkan di mana saja; di rumah, jalan, masjid, pasar atau tempat lainnya.
Kesunahan takbir Idul fitri dimulai sejak tenggelamnya matahari pada malam 1 Syawal sampai takbiratul ihramnya imam shalat Id bagi yang berjamaah, atau takbiratul ihramnya mushalli sendiri bagi yang shalat sendirian. Pendapat lain menyatakan waktunya habis saat masuk waktu shalat Id yang dianjurkan, yaitu ketika matahari naik kira-kira satu tombak (+ 3,36 M), baik Imam sudah melaksanakan takbiratul ihram atau tidak (Syekh Sa’id Bin Muhammad Ba’ali Ba’isyun, Busyra al-Karim, hal. 426).
5. Makan sebelum berangkat shalat Id
Sebelum berangkat shalat Idul fitri, disunahkan makan terlebih dahulu. Anjuran ini berbeda dengan shalat Idul Adha yang disunahkan makan setelahnya. Hal ini karena mengikuti sunah Nabi. Lebih utama yang dimakan adalah kurma dalam hitungan ganjil. Makruh hukumnya meninggalkan anjuran makan ini sebagaimana dikutip al-Imam al-Nawawi dari kitab al-Umm (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 592).
6. Berjalan kaki menuju tempat shalat
Berjalan kaki menuju tempat shalat Id hukumnya sunah, berdasarkan ucapan Sayyidina Ali, “Termasuk sunah Nabi adalah keluar menuju tempat shalat Id dengan berjalan” (HR. al-Tirmidzi). Bagi yang tidak mampu berjalan kaki seperti orang tua, orang lumpuh, dan lain sebagainya diperbolehkan untuk menaiki kendaraan. Demikian pula boleh kepulangan dari shalat Id dilakukan dengan tidak berjalan kaki. (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 282).
7. Membedakan rute jalan pergi dan pulang tempat shalat Id
Berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari, rute perjalanan pulang dan pergi ke tempat shalat Id hendaknya berbeda, dianjurkan rute keberangkatan lebih panjang daripada jalan pulang. Di antara hikmahnya adalah agar memperbanyak pahala menuju tempat ibadah. Anjuran ini juga berlaku saat perjalanan haji, membezuk orang sakit dan ibadah lainnya, sebagaimana ditegaskan al-Imam al-Nawawi dalam kitab Riyadl al-Shalihin (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 591).
8. Berpenampilan sebaik mungkin
Idul fitri adalah saatnya berpenampilan sebaik mungkin untuk menampakan kebahagiaan di hari yang berkah itu. Berhias bisa dilakukan dengan membersihkan badan, memotong kuku, memakai wewangian terbaik, dan pakaian terbaik. Kesunahan berhias ini berlaku bagi siapa pun, meski bagi orang yang tidak turut hadir di pelaksanaan shalat Idul Fitri. Khusus bagi perempuan, anjuran berhias tetap harus memperhatikan batas-batas syariat, seperti tidak membuka aurat, tidak mempertontonkan penampilan yang memikat laki-laki yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 281).
9. Tahniah (memberi ucapan selamat)
Hari raya adalah hari bergembira. Karena itu, dianjurkan untuk saling memberikan selamat atas kebahagiaan yang diraih saat hari raya. Di antara dalil kesunahannya adalah beberapa hadis yang disampaikan al-Imam al-Baihaqi. Beliau dalam kitab Sunan menginventarisir beberapa hadis dan ucapan para sahabat tentang tradisi ucapan selamat di hari raya. Meski tergolong lemah sanadnya, namun rangkaian beberapa dalil tersebut dapat dibuat pijakan untuk persoalan ucapan hari raya terkait keutamaan amal ini.
Argumen lainnya adalah dalil-dalil umum mengenai anjuran bersyukur saat mendapat nikmat atau terhindar dari marabahaya, seperti disyariatkannya sujud syukur. Demikian pula riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang kisah tobatnya Ka’ab bin Malik setelah beliau absen dari perang Tabuk. Talhah bin Ubaidillah memberinya ucapan selamat begitu mendengar tobatnya diterima. Ucapan selamat itu dilakukan di hadapan Nabi dan beliau tidak mengingkarinya.
Tidak ada aturan baku mengenai redaksi ucapan selamat ini. Salah satu contohnya “taqabbalallaahu minnaa wa minkum”, “kullu ‘aamin wa antum bi khair”, “selamat hari raya Idul Fitri”, “minal aidin wa al-faizin”, “mohon maaf lahir batin”, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya, setiap kata yang ditradisikan sebagai ucapan selamat dalam momen hari raya, maka sudah bisa mendapatkan kesunahan tahniah ini. Bahkan, Syekh Ali Syibramalisi menegaskan tahniah juga bisa diwujudkan dalam bentuk saling bersalam-salaman.
Demikian beberapa hal yang dianjurkan untuk kita lakukan saat merayakan Hari Raya Idul Fitri. Melakukannya bersama keluarga tercinta tentu bahagia. Selain itu, sebagai bentuk ibadah yang mendapatkan pahala.