Infaq Ramadhan – Sungguh menyedihkan menyaksikan fakta bahwa negeri tercinta ini ternyata berada di peringkat keenam dengan tingkat ketimpangan tertinggi di dunia. Artinya, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih dari jumlah total 100 juta orang termiskin. Dalam dua dekade terakhir, ketimpangan antara kelompok orang terkaya dan kelompok lainnya di Indonesia makin meningkat secara lebih cepat ketimbang negara lain di Asia Tenggara.
Kondisi demikian meniscayakan makin tingginya kemiskinan dan meningkatnya kaum mustadh’afin. Dhu’afa dan mustadh’afin sebenarnya memiliki akar kata yang sama yaitu berasal dari kata dha’if yang berarti lemah. Dhu’afa sendiri berkedudukan sebagai isim jamak dari dha’if, sedangkan mustadh’afin menempati posisi sebagai maf’ul dari kata dasar istadh’afa. Sehingga secara etimologi, makna dhu’afa adalah orang-orang yang lemah, sedangkan mustadh’afin adalah orang-orang yang dilemahkan.
Ar-Raghib Al-Isfahani dalam Al-Mufrodat Alfaadh Al-Qur’an mengklasifikan dha’if di dalam Al-Quran menjadi tiga kelompok. Pertama, dha’if fi jism yaitu mereka yang lemah secara fisik. Kedua, dha’if fil aqli, yaitu mereka yang lemah secara intelektual. Kemudian yang terakhir dha’if fil hali yakni mereka yang lemah dalam keadaan sosial dan ekonomi.
Lafadz mustadh’afin, salah satunya ada dalam surah An-Nisa’ ayat 75: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau.”
Infaq Ramadhan – Golongan Penerima infaq dan Sedakah
Ayat ini berbicara tentang pembelaan terhadap kelompok mustadhafin. Ketertindasan dalam ayat di atas maknanya lebih luas dari hanya persoalan ekonomi, tapi diskriminasi dan persekusi oleh mereka yang kuat kepada mereka yang lemah, atau adanya kelompok yang memiliki power bertindak sewenang-wenang terhadap kelompok lemah dan tidak memiliki pembela. Jika kita melihat keadaan saat ini sebagai contoh bangsa Palestina adalah termasuk dalam kategori ini di mana negara adidaya Amerika Serikat dan rezim-rezim monarki Arab bersatu padu dengan negara zionis Israel menjajah Palestina. Sebagai Muslim maka kita berkewajiban membela mereka semampu kita.
“Dan kami hendak memberi karunia kepada mustadhafin di bumi dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisinya, dan akan kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi….” (QS. al-Qashash: 5)
Dalam Al-Quran, pihak lemah dan yang dilemahkan ini secara umum disebutkan ada Sepuluh Kelompok:
Pertama, mereka adalah anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil (musafir), orang yang meminta-minta, serta hamba sahaya sebagaimana tersebut dalam surah Al-Ma’un ayat 2-4.
Kedua, tuna netra, cacat fisik, dan orang sakit sebagaimana disebut dalam surah An-Nur ayat 61.
Ketiga, manusia lanjut usia sebagaimana tersebut dalam surah Al-Isra ayat 23.
Keempat, janda miskin sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 240
Kelima, para tahanan atau tawanan yang tertera pada surah Al-Insan ayat 8.
Keenam, mereka yang baru memeluk Islam atau muallaf, orang-orang yang memiliki hutang (gharim), serta orang yang berjuang di jalan Allah (fi Sabilillah) sebagaimana yang dijelaskan dalam surah At-Taubah ayat 60.
Ketujuh, mereka para karyawan, buruh, atau pekerja kasar yang disebut oleh surah At-Thalaq ayat 6.
Kedelapan, disebut dalam surah Al-Kahfi ayat 79 yaitu para nelayan
Kesembilan, para rakyat kecil yang tertindasa dan teraniaya sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nisa’ ayat 75.
Kesepuluh, para bayi dan anak-anak kecil sebagaimana yang disebutkan dalam surah Al-An’am ayat 140.
Keutamaan Berinfaq kepada Kaum Dhuafa
Terhadap kaum dhuafa, umat Islam dianjurkan untuk memenuhi hak-haknya. Terdapat keutamaan bagi siapa saja yang menyantuni kaum dhuafa dengan ikhlas, salah satunya menjadi amalan yang dapat membuka pintu rezeki bahkan dari arah yang tidak terduga.
Menyantuni kaum dhuafa adalah cara yang dapat dilakukan untuk memenuhi hak-hak mereka, baik dengan cara memberi dukungan berupa harta benda, emosional maupun ilmu yang bermanfaat. Dalam hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Isro ayat 26, yang artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”
Menolong kaum dhuafa penting untuk dilakukan, terlebih bagi mereka yang sedang berada dalam kesulitan. Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ath-Thabrani dari Anas bin Malik menyebutkan bahwa siapa saja yang membiarkan kaum dhuafa berada dalam kelaparan sedangkan ia mengetahuinya, maka orang tersebut dikatakan tidak beriman kepadanya.
Tentunya sebagai seorang Muslim juga kita memahami bahwasannya di dalam harta yang kita miliki terdapat hak-hak orang miskin (kaum dhuafa) yang harus dikeluarkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariat ayat 19).
Keutamaan menyantuni kaum Dhuafa di antaranya adalah
1. Meraih Ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala
Dari Abu Darda’ ia berkata: Rasulullah Shalallah’alaihi wasallam bersabda: “Carilah keridhaanku dengan berbuat baik kepada orang-orang lemah, karena kalian diberi rezeki dan ditolong disebabkan orang-orang lemah di antara kalian.” (HR. Abu Dawud).
2. Mendapat Berkah, kemudahan rezeki, dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian” (HR. Bukhari no. 2896)
Berbagi pada orang-orang yang membutuhkan tak akan membuat seseorang kehabisan harta yang dimiliki. Sebaliknya, harta yang dibagikan pada fakir miskin dan kaum dhuafa justru akan bertambah keberkahannya dan dilipat gandakan.
Dari Anas Radhiyallahu’anhu: “Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam bersabda: “Pintu rizqi akan terbuka sampai ‘Arsy. Allah menurunkan kepada Hamba-Nya bagian rizqi mereka sesuai dengan banyaknya shodaqoh mereka. Barangsiapa yang sedikit mengeluarkan shodaqoh, maka Allah akan memberinya sedikit rizqi, dan barang siapa yang banyak mengeluarkan shodaqoh, maka Allah akan memberinya rizqi yang banyak” (HR. Dailami),
3. Mendapat keselamatan di hari akhir
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (Sambil berkata) Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.” (QS. Al-Insan 8-11).
4. Menjadi insan yang selalu bersyukur
Memberikan pertolongan atau santunan kepada kaum dhuafa menjadi salah satu bentuk syukur seorang Muslim atas karunia dan nikmat-Nya. Juga menjadi amalan hati yang dapat menambahkan rezeki atau nikmat yang ada saat ini.
5. Meningkatkan rasa empati terhadap sesama dan hidup jadi lebih bermanfaat
Saat kita menolong orang lain bisa jadi akan ada banyak doa yang mengalir dari orang-orang yang tulus yakni mereka yang menerima bantuan kita. Lebih dari itu, ada hadis yang menyebutkan bahwasannya manusia terbaik ialah manusia yang bermanfaat bagi yang lainnya.
6. Melembutkan hati yang keras
Dalam salah satu hadis, Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang datang mengadu kepada Rasulullah atas keras hati yang dialaminya, beliau bersabda: Usaplah kepala anak yatim dan beri makanlah orang-orang miskin,” (HR. Ahmad)
7. Menyucikan jiwa
Sifat kikir dan terlalu mencintai harta duniawi merupakan salah satu sifat tercela yang mampu mengotori jiwa seorang Muslim. Maka dari itu, kita diperintahkan untuk mengeluarkan sebagian harta kita dan memberikannya untuk kaum dhuafa yang membutuhkan untuk senantiasa mensucikan jiwa. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah memberikan peringatan mengenai hal ini dalam Al-Quran surat Al-Humazah ayat ke 1-2 yang artinya : “Celakalah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya”
8. Mempererat silah ukhuwah
Saat silah ukhuwah semakin erat, akan timbul kebersamaan yang kuat, saling mendukung, dan saling menghargai satu sama lain.
Keutamaan Berinfaq kepada Yatim
Salah satu kaum dhuafa atau mustadh’afin adalah anak yatim. Yatim berasal dari kata al-fardu yang artinya adalah sendirian dan segala sesuatu yang ditinggal oleh sesuatu yang serupa dengannya. Yatim menurut syariah ialah tidak jauh berbeda dengan makna secara bahasa, yaitu orang yang ditinggal wafat oleh bapaknya dan belum kondisi baligh.
Imam as-Syairazi as-Syafi’i menyebutkan bahwa, Yatim adalah seorang yang tak punya bapak, sedangkan dia belum baligh, Setelah baligh maka orang itu tidak disebut yatim ( Abu Ishaq as-Syairazi w. 474 H, al-Muhaddzab, H3/301).
Menurut Syekh Sulaiman al-jamal (wafat 1024 H) dalam karyanya menyebutkan yaitu bahwa yatim adalah anak kecil yang ditinggal wafat oleh ayahnya, sekalipun dia masih memiliki ibu atau kakek dan nenek.
Dari penjelasan diatas, bahwa tolak ukur seorang anak yang bisa disebut sebagai yatim ialah dia yang tidak mempunyai ayah. Jika ayahnya sudah tiada, sementara ibu, kakek dan neneknya masih ada, maka itu tetap disebut kategori yatim. Jika ibunya yang sudah tiada, dan ayahnya masih ada maka tidak bisa dikatakan yatim.
Adapun anak kecil yang ditinggal mati ibunya tidak disebut yatim, tapi punya istilah khusus yaitu ‘ajiyy/’ajiyyah, dan dalam bahasa Indonesia disebut piatu. Piatu tidak disebut bersama yatim karena kematian ayahlah yang biasanya membuat seorang anak lemah dan kehilangan nafkah; karena memberi nafkah adalah tugas ayah, bukan ibu.
1. Dekat dengan Rasulullah di surga seperti jarak antara jari telunjuk dan jari tengah.
Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda: “Aku dan orang yang memelihara anak yatim itu akan masuk surga seperti ini,”. Nabi memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggang keduanya.” (HR. Bukhari).
2. Dijamin masuk surga
Siapa yang tidak ingin masuk surga? Tempat yang penuh kenikmatan. Namun, tak mudah meraihnya karena perlu ketakwaan. Kabar baiknya, ada jaminan masuk surga untuk orang-orang yang memilihara anak yatim
“Orang-orang yang memelihara anak yatim di antara umat muslimin, memberikan mereka makan dan minum, pasti Allah memasukkannya ke dalam surga, kecuali ia melakukan dosa yang tidak bisa diampuni.” (HR Tirmidzi dari Ibnu Abbas).
3. Terhindar dari siksa pada hari kiamat
Pada hari kiamat saat semua amal diperhitungkan, kita tentu akan mendapat balasan dari apa yang kita perbuat di dunia.
“Demi Yang Mengutusku dengan haq, Allah tidak akan menyiksa pada hari kiamat nanti orang yang menyayangi anak yatim, lemah lembut pembicaraan dengannya, serta menyayangi keyatiman serta kelemahannya.” (HR Thabrani dari Abu Hurairah).
4. Amal yang tidak terputus
Ketika kita meninggal kelak akan terputus amal kita kecuali, tiga perkara yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakan. Apabila kita mengurus anak yatim insya Allah mereka juga tidak akan lupa untuk mendoakan kita
“Jika manusia mati, maka terputus amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat serta anak saleh yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim Abu Hurairah).
Sejatinya, keberadaan anak yatim di antara kita adalah ladang kebajikan. Begitu mulia kedudukan mereka hingga banyak hadis yang membahasnya.
Demikianlah berbagai keutamaan infaq kepada kaum dhuafa dan anak yatim, apalagi jika dilakukan di bulan Ramadhan. Terbayang betapa dahsyatnya keberkahan yang diraih jika kita berinfaq terhadap mereka di bulan suci ini. Dengan banyaknya keutamaan tersebut, berbagi kebaikan untuk yatim dan dhuafa adalah kesempatan besar bagi kita untuk meraih pahala dan kemuliaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala di bulan Ramadhan yang mulia ini.